Minggu, 22 Oktober 2017

Selintas Pikir Tentang Hidup

Terkadang,
Kita begitu senang melihat kehidupan orang lain..

Membicarakan tentang seberapa sukses mereka,
Tentang begitu beruntung mereka,
Tentang hidup mereka yang sepertinya selalu bahagia..
Lalu membandingkannya dengan hidup kita,
Yang jauhhhh dari itu semua.

Pagi ini aku tertampar,
Betapa tidak bersyukurnya jikalau aku masih begitu,

Bukankah yang tahu segala sesuatu baik atau buruk nya itu Alloh?
Mengapa tidak kita terima dengan ikhlas dan jalani dengan bahagia takdir yang sudah Alloh pilih ini?

Orang lain terlahir dengan kecantikan, kekayaan, ketenaran, karena itu baik untuk mereka.

Mungkin saja jikalau mereka berkekurangan mereka tidak dapat melalui hidup mereka sama seperti kita yang sudah terbiasa hidup susah..

Paras cantik atau tampan pun hanyalah titipan selama di dunia bukan? Semua itu akan memudar menjadi tua dan tanah. Lalu apa yang kita khawatirkan?

Hidup kita yang biasa2 saja ini adalah yang terbaik untuk kita. Mungkin Alloh ingin kita banyak belajar dan lebih keras saat berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

Tidak mengapa, itu akan membuat kita kuat. Bukan?

Ingatlah bahwa sebaik2 nya manusia adalah yang bertakwa. Bukan yang kaya, bukan yang cantik, bukan yang tampan, bukan yang pintar, bukan yang punya jabatan.

Lalu mengapa kita sibuk iri pada mereka?

Cantik dan tampan itu masalah genetis yang tidak bisa kita pilih. Kita terlahir seperti ini karena orangtua kita seperti ini.

Menjadi kaya bisa diusahakan, tapi jangan sampai melalaikan.

Aku terus terang lelah mengejar itu semua.

Kupikir mengapa tidak mengejar seauatu yang sudah pasti saja?

Keimanan dan ketakwaan.

Bersyukur itu penting.
Karena syukur menghasilkan bahagia.

Kita bukan  butuh piknik untuk bahagia, tapi kita hanya butuh bersyukur.

.................................................
Bekasi, 23 Oktober 2017

Jumat, 20 Oktober 2017

Bukan Wanita "kebanyakan"

Bismillah..
Ya Rabb..
Izinkan diriku berkeluh kesah..
Tentang rasa marah..
Tentang rasa gundah..
Tentang rasa tak adil..
Diriku wanita,
Bukankah itu sudah takdir ku?
Bukankah aku tak bisa memilih untuk itu?
Aku menerimanya dengan ikhlas,
Menjalani hidupku dengan penuh syukur,
Tapi omongan mereka membuatku terusik..
Aku wanita..
Tapi mengapa tak feminim seperti banyak para wanita lain..
Bukan tak bisa, hanya perkara tak suka..
Sebutkan keterampilan wanita yang tak ku kuasai..
Bukannya aku sombong Yaa Rab..
Tapi aku bisa melakukan semuanya..
Memasak..
Menjahit..
Merapihkan rumah..
Mendidik anak..
Berdandan..
Bukankah itu semua sudah fitrah..
Walaupun tidak sejelas mereka wanita di luar sana,
tapi aku bisa..
Lalu salahnya dimana?
Menjadi wanita bukan berarti membatasi diri..
Menjadi wanita bukan berarti lemah..
Bukankah begitu?
Bunda Khadijah.. ibunda seluruh umat.. isteri baginda Rasululloh adalah seorang Wanita..
Tapi ia adalah seorang pedagang yang sukses..
Aisyah Radiallahu anhu.. adalah isteri rasululloh yang sangat cerdas dan kritis.. ia juga seorang wanita..
Nusaib binti Ka'ab juga seorang wanita, tapi hal itu tidak membuatnya berhenti menghunuskan pedang saat perang Uhud..
Khaulah binti Zhaur juga seorang wanita, langsing cantik jelita.. tapi ia adalah kstaria berkuda hitam yang pandai melempar tombak..
Lalu apa salahnya jika diriku yang seorang wanita ini hobi berkelana..
Apa salahnya jika aku yang wanita ini suka berjalan jauh ke tempat tinggi..
Toh walaupun semua itu aku tidak melupakan fitrahku sebagai wanita..
Ya Rabb..
Ijinkan aku marah pada mereka yang menilai tanpa tendensi..
Yang menghakimi tanpa toleransi..

Jumat, 22 September 2017

Rindu tak bertuan

Dalam hal yang selalu ku semogakan,
Seringkali ku sebut namamu sembari bersujud berharap,
Karena jika bukan pada-Nya ku mengadu,
Lalu pada siapa?

Sekepal rindu masih dalam genggaman,
Seuntai harap masih seterang asa,
Walau takdir ternyata mengingkari,
Siapa aku boleh merutuki Nasib?

Dalam doa, ku pinta kebahagianmu kekal.
Walau dalam bahagiamu itu tak ada aku,
Sekeras itu kah keinginanku?
Setegas itukah perasaanku?
Ya, mungkin memang begitu.

Dalam rebah sajadah merah,
Air mata ini menjadi saksi penghambaan,
Betapa aku pinta dengan tulus bukan untuk menghilangkan rasa,
Tapi untuk menemukan kamu yang lain.
Entah kini dimana.


Senin, 28 Agustus 2017

Gadis yang merantau

Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS. ALmulk : 15)

_____________________________

Merantau.

Terkadang tidak sedikit orang menilaiku egois. Seorang wanita, pergi jauh dari rumahnya. Bepergian kemana saja dia mau. Melangkahkan kakinya kemana saja ia suka. Apakah ia tidak merindukan ayah dan ibunya? Apakah ia tidak merindukan adik2nya?

Ah, terkadang ku jawab dalam hati.

Pertanyaan bodoh macam apa itu!

Anak gadis mana yang tak rindu pelukan hangat ayahnya. Anak gadis mana yang tak rindu belaian sayang ibunya. Anak gadis mana yang tak rindu penjagaan adik laki2nya?

Tapi terkadang kita lupa, bahwa anak gadis juga punya impian. Punya tujuan hidup. Anak gadis juga perlu belajar. Belajar tentang hidup. Belajar tentang rindu.

Ia tahu, tentang bagaimana kodratnya sebagai seorang wanita. Yang nanti kelak akan benar2 keluar dari rumah. Menjadi tanggung jawab pria asing yang entah siapa nanti. Saat itulah wanita tersebut akan meninggalkan keluarganya. Hidup Jauh dari orangtuanya. Kepatuhannya tidak lagi kepada ayah dan ibunya, tapi kepada lelaki asing yang berakad menjaga dan menjadi imamnya.

Wanita itu perlu belajar. Bagaimana rasanya jauh. Bagaimana rasanya rindu. Bagaimana rasanya cinta itu menuntut untuk bertemu.

Terlepas dari itu, ada ilmu-ilmu hidup yang tak didapat hanya dengan berdiam di rumah.
Ada kepedulian yang tumbuh yang tidak akan didapatkan dengan berdiam di rumah.

Ada empati yang tidak akan dipelajari dengan berdiam di rumah.

Ada tekad dan keberanian yang perlu ditumbuhkan dengan keluar dari rumah.

Merantau.
Bukan sekedar tentang keluar dari rumah. Tapi tentang menjelajahi bumi Alloh, demi secuil ilmu hidup. Demi secuil pelajaran. Demi secuil belajar tentang rindu. Tentang ketegaran. Tentang bertahan hidup.

Tangerang, 28 Agustus 2017.

#ErnaMenulis
#MenulisUntukMenyembuhkan

Selasa, 15 Agustus 2017

Kurikulum VS Pendidikan Berbasis Fitrah

Bismillah,

Sesuai janji saya di postingan sebelumnya, Kali ini saya akan membagikan sedikit informasi yang saya dapat dengan menguping materi dari Ustadz Ferous saat mengikuti Parenthood Education Series.

Materi yang disampaikan adalah mengenai kurikulum dan pendidikan berbasi fitrah.

Sebagai seorang yang lulus dari Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, mendengar kata kurikulum tidak asing bagi saya. Berbicara tentang kurikulum berarti berbicara tentang sistem pendidikan. Karena setiap kurikulum pasti berhubungan langsung dengan tujuan sistem pendidikannya.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003, pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (wikipedia).

Yang saya garis bawahi disini adalah 'tujuan penddikan nasional'. Jika kurikulum itu dirancang untuk memenuhi tujuan nasional tersebut yang dalam bahasa lain hal tersebut merupakan 'penyeragaman tujuan pendidikan' maka kita pantas untuk melihat apa tujuan nasional tersebut?

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(wikipedia)

Pertanyaannya saat ini adalah, apakah kurikulum tersebut dalam pelaksanaannya sudah tepat dengan tujuan tersebut?

Setiap anak adalah unik. setiap anak memiliki potensi, bakat, dan keahlian yang berbeda. Ada anak yang jago matematika tapi tidak pandai berbahasa. Ada anak yang luar biasa kemampuan seninya tapi sulit untuk menghitung angka. Mengutip tujuan nasional tadi yakni mengembangkan "potensi" peserta didik, timbul pertanyaan pertama, apakah kurikulum yang digunakan saat ini sudah melakukan itu?

Berbicara tentang potensi anak berarti berbicara tentang fitrah. mendengar kata fitrah mengingatkan saya akan sebuah hadits yang berbunyi:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa setiap anak memiliki fitrah yang ia bawa sejak lahir, lalu kedua orangtuanya lah yang mengarahkan mereka menjadikan seperti yang mereka inginkan. Walaupun hadits ini berbicara tentang fitrah keimanan tapi hal ini dapat juga dijadikan referensi bahwa setiap anak memiliki pembawaan masing-masing dan lingkungan lah yang mempengaruhi tumbuh kembang Fitrah tersebut

Lalu timbullah pertanyaan kedua, Apakah Kurikulum dapat mempengaruhi perkembangan fitrah anak

Mari kita mencoba menjawab pertanyaan tersebut bersama-sama.

Ustad Ferous mengatakan bahwa Kurikulum seharusnya berjalan beriringan dengan pendidikan fitrah anak. Kurikulum tidak boleh mengintervensi fitrah sehingga mengganggu pertumbuhannya. Dapatkah kurikulum mengganggu pertumbuhan fitrah anak? Tentu saja bisa.

Contohnya, Tumbuh kembang anak diantaranya terdapat perkembangan motorik, perkembangan kognitif, dan perkembangan komunikasi. Jika kurikulum mengabaikan hal ini maka kurikulum tersebut telah mendistorsi pertumbuhan fitrah.

Setiap anak usia PAUD atau TK sedang berkembang motorik kasar dan motorik halusnya. dalam tahap ini anak harus banyak melakukan aktifitas untuk merangsang pertumbuhan motorik tersebut. Tetapi kurikulum tidak memfasilitasi hal ini. Di PAUD dan TK kegiatan fisik (bermain) mulai minim, digantikan dengan kegiatan mengenalkan huruf (membaca) dan mengenal angka (berhitung). hal ini membuat perkembangan motoriknya terhambat. Hal ini lah yang disebut kurikulum mendistorsi Fitrah anak.

Berangkat dari contoh tadi,  dapat kita simpulkan bahwa Kurikulum menganggap yang tidak berkaitan dengan kognitif bukanlah termasuk dalam pendidikan. Maka hal-hal yang berkaitan dengan fitrah anak pun diabaikan. Padahal setiap kemampuan kognitif harus diimbangi dengan tumbuh kembang fitrah anak.

Perlu menjadi perhatian kita bahwa pendidikan sejatinya tidaklah hanya di sekolah. Melainkan di rumah pun harus ada pendidikan pula. Saat di sekolah ananda belajar akademik yakni kurikulum yang berstruktur. Sedangkan saat di rumah ananda belajar kurikulum yang tidak terstruktur. Apa itu? Akhlak misalnya. Nilai-nilai kesopanan, adab, yang tentunya orangtua adalah pengajarnya. Dengan melaksanakan hal ini besar harapan akan ada keseimbangan antara kurikulum dan pendidikan fitrah anak.

nduk'NHA

 

Erna Cahaya Template by Ipietoon Cute Blog Design