Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni
Allah Azza wa Jalla telah menetapkan syariat Islam yang lengkap dan
sempurna, serta terjamin keadilan dan kebenarannya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’ân) sebagai kalimat yang benar
dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [al-An’âm/6:115]
Artinya, al-Qur’ân adalah firman Allah Azza wa Jalla yang benar dalam
berita yang terkandung di dalamnya, serta adil dalam perintah dan
larangannya. Maka, tidak ada yang lebih benar dari pada berita yang
terkandung dalam kitab yang mulia ini dan tidak ada yang lebih adil dari
pada perintah dan larangannya.[1]
Di antara bentuk keadilan
syariat Islam ini adalah dengan tidak membedakan antara satu bangsa/suku
dengan bangsa/suku lainnya. Demikian pula satu jenis (laki-laki atau
perempuan) dengan jenis lainnya kecuali dengan iman dan takwa kepada
Allah Azza wa Jalla .
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
[al-Hujurât/49:13]
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia),
dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat)
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
[an-Nahl/16:97]
Juga dalam firman-Nya:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
Maka Allah memperkenankan permohonan mereka (dengan berfirman):
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah dari sebagian yang lain” [Ali ‘Imrân/3:195]
Apresiasi Islam Terhadap Kaum Perempuan
Sungguh agama Islam sangat menghargai dan memuliakan kaum perempuan
dengan menetapkan hukum-hukum syariat yang khusus bagi mereka, serta
menjelaskan hak dan kewajiban mereka dalam Islam. Semua itu bertujuan
untuk menjaga dan melindungi kehormatan dan kemuliaan mereka.[2]
Syaikh Shâlih al-Fauzân hafidzahullâh berkata: “Wanita Muslimah
memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, sehingga banyak tugas mulia
yang disandarkan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi n selalu menyampaikan
nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3] , seperti khutbah yang
beliau sampaikan di Arafah (ketika haji wada’).[4] Ini semua menunjukkan
wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu….[5]
Di antara bentuk penghargaan Islam terhadap kaum perempuan adalah
dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas
hukum-hukum syariat, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa
Jalla , menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta
keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.[6]
Adapun perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hukum syariat, ini justru
menunjukkan kesempurnaan Islam. Karena, agama ini benar-benar
mempertimbangkan perbedaan kondisi laki-laki dan perempuan, untuk
menetapkan hukum-hukum yang sangat sesuai dengan keadaan dan kondisi
keduanya.
Inilah bukti bahwa syariat Islam benar-benar
ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana,
yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan
kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha
mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui
[al-Mulk/67:14]
Ini semua menunjukkan bahwa agama Islam
benar-benar ingin memuliakan kaum perempuan, karena Islam menetapkan
hukum-hukum yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kodrat mereka.
Dengan mengamalkan semua itu mereka akan mendapatkan kemuliaan yang
sebenarnya.
Ketika menjelaskan hikmah yang agung ini, Syaikh
Bakr Abu Zaid hafidzahullâh berkata: ” Dialah Allah Azza wa Jalla yang
menetapkan dan menakdirkan bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan
dalam ciri, bentuk, dan kekuatan fisik. Laki-laki memiliki fisik dan
watak yang lebih kuat, sedangkan perempuan lebih lemah dalam (kondisi)
fisik maupun wataknya…
Dua macam perbedaan inilah yang menjadi
sandaran bagi sejumlah besar hukum-hukum syariat. Dengan hikmah-Nya yang
tinggi Allah Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala sesuatu dengan
terperinci, telah menetapkan adanya perbedaan dan ketidaksamaan antara
laki-laki dengan perempuan dalam sebagian hukum-hukum syariat, yaitu
dalam tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan bentuk fisik, serta
kemampuan masing-masing dari kedua jenis tersebut (laki-laki dan
perempuan) untuk menunaikannya. Demikian pula sesuai dengan kekhususan
masing-masing dari keduanya pada bidangnya dalam kehidupan manusia, agar
sempurna tatanan kehidupan ini, dan agar masing-masing dari keduanya
menjalankan tugasnya.
Jadi, Allah Azza wa Jalla mengkhususkan
kaum laki-laki dengan sebagian hukum syariat yang sesuai dengan kondisi,
bentuk, susunan dan ciri-ciri fisik mereka, (dan sesuai dengan)
kekuatan, kesabaran dan keteguhan mereka dalam menjalankan hukum-hukum
tersebut serta sesuai dengan semua tugas mereka di luar rumah dan usaha
mereka mencari nafkah untuk keluarga.
Demikian pula Allah Azza
wa Jalla mengkhususkan kaum perempuan dengan sebagian hukum syariat yang
sesuai dengan kondisi, bentuk, susunan dan ciri-ciri fisik mereka, (dan
sesuai dengan) terbatasnya kemampuan dan kelemahan mereka dalam
menanggung beban, juga sesuai dengan semua tugas dan tanggung jawab
mereka di dalam rumah, dalam mengatur urusan rumah tangga, serta
mendidik anggota keluarga yang merupakan generasi penerus bagi umat ini
di masa depan.
Dalam al-Qur’ân, Allah Azza wa Jalla menyebutkan ucapan istri ‘Imrân:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ
Dan laki-laki tidaklah sama dengan perempuan [Ali ‘Imrân/3:36]
Maha suci Allah Azza wa Jalla , pemilik segala penciptaan dan perintah
dalam syariat Islam, dan pemilik segala hukum dan pensyariatan.
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ketahuilah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam [al-A’râf/7:54]
Inilah irâdah (kehendak) Allah Azza wa Jalla yang bersifat kauniyyah
qadariyyah (sesuai dengan takdir dan kodrat yang telah Allah Azza wa
Jalla tetapkan bagi semua makhluk dalam penciptaan, pembentukan rupa dan
bakat. Dan inilah irâdah-Nya yang bersifat dîniyyah syar’iyyah (sesuai
dengan ketentuan agama dan syariat yang dicintai dan diridhai-Nya). Maka
terkumpullah dua irâdah Allah Azza wa Jalla ini demi kemaslahatan para
hamba-Nya, kemakmuran alam semesta, dan keteraturan tatanan hidup
pribadi, rumah tangga, kelompok, serta seluruh masyarakat.[7]
Beberapa Contoh Hukum-Hukum Syariat Islam Yang Menggambarkan Penghormatan Dan Penghargaan Islam Terhadap Kaum Perempuan
1. Kewajiban memakai jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna[8] ) bagi wanita ketika berada di luar rumah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:59]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjelaskan kewajiban memakai jilbab
bagi wanita dan hikmah dari hukum syariat ini, yaitu: “Supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti”.
Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan
bahwa gangguan bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk akan
timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab yang sesuai dengan
syariat. Karena, jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan
menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afîfah (terjaga kehormatannya),
sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu
dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya.
Maka, dengan memakai jilbab yang sesuai dengan syariat, akan mencegah
timbulnya keinginan-keinginan buruk seseorang terhadap diri wanita “[9].
2. Kewajiban memasang hijâb/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman menerangkan hikmah agung disyariatkannya hijâb/tabir antara laki-laki dan perempuan:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. [al-Ahzâb/33:53]
Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alu Syaikh rahimahullah berkata: “Dalam
ayat ini Allah Azza wa Jalla menyifati hijâb/tabir sebagai kesucian bagi
hati orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan. Karena, jika
mata manusia tidak melihat sesuatu yang mengundang syahwat, karena
terhalangi hijab/tabir, maka hatinya tidak akan berhasrat buruk. Oleh
karena itu, dalam kondisi seperti ini hati manusia akan lebih suci,
sehingga peluang tidak timbulnya fitnah kerusakan pun lebih besar.
Karena hijâb/tabir benar-benar mencegah timbulnya keinginan-keinginan
buruk dari orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya”[10].
3.
Kewajiban wanita untuk menetap di dalam rumah dan hanya boleh keluar
rumah jika ada kepentingan yang dibenarkan dalam agama.[11]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ
الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ
الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan
hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian
dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan
bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait (istri-istri Nabi) dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya. [al-Ahzâb/33:33]
Dalam hadits yang shahîh,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita
adalah aurat, maka jika dia keluar rumah, setan akan mengikutinya
(menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang
paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika dia berada di dalam
rumahnya”.[12]
Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullâh ketika
menjelaskan hikmah agung diharamkannya tabarruj dalam Islam mengatakan:
Adapun dalam Islam, maka perbuatan tabarruj ini diharamkan dengan sebab
adanya dorongan iman dan adanya keinginan yang bergelora dalam hati kaum
muslimin dalam rangka mewujudkan ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya, serta dalam rangka menghiasi diri dengan kesucian dan
kemuliaan, menghindarkan diri dari kehinaan, juga dalam rangka menjauhi
perbuatan dosa, mengharapkan pahala dan ganjaran dari-Nya, serta takut
akan siksaan-Nya yang pedih. Maka wajib bagi para wanita Muslimah untuk
bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan menjauhi semua perbuatan yang
dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam supaya mereka tidak ikut serta dalam menyusupkan kerusakan di
dalam tubuh kaum Muslimin disebabkan tersebarnya perbuatan-perbuatan
yang keji, merusak moral anggota keluarga dan rumah tangga, serta
merajalelanya perbuatan zina. Juga supaya mereka tidak menjadi sebab
yang mengundang pandangan mata yang berkhianat dan hati yang
berpenyakit, yang menyimpan keinginan buruk kepada mereka, sehingga
mereka berdosa dan menjadikan orang lain juga berdosa”.[13]
4. Tugas dan tanggung jawab kaum wanita yaitu mendidik dan mengarahkan anak-anak di dalam rumah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،…
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ
مَسْؤُوْلَةٌ عَنْهُمْ
Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin
dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang
dipimpinnya…seorang wanita (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya
bagi anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang
(perbuatan) mereka.[14]
Tugas dan tanggung jawab ini
menunjukkan agungnya kedudukan dan peran kaum wanita dalam Islam.
Karena, merekalah pendidik pertama dan utama generasi muda Islam. Dengan
memberikan bimbingan yang baik bagi mereka, berarti telah mengusahakan
perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.
Syaikh Muhammad
bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah berkata: “Sesungguhnya kaum wanita
memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki kondisi
masyarakat. Hal ini karenakan upaya memperbaiki kondisi masyarakat itu
ditempuh dari dua sisi:
Pertama: Perbaikan kondisi di luar
rumah, yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar
rumah. Perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah
orang-orang yang beraktifitas di luar rumah.
Kedua : Perbaikan
di balik dinding (di dalam rumah). Tugas mulia ini umumnya disandarkan
kepada kaum wanita karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah.
Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan bahwa
sesungguhnya kebaikan separuh atau bahkan lebih dari jumlah masyarakat
disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:
Pertama : Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih
banyak dari laki-laki. Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah
kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Atas dasar inilah maka kaum wanita
memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki kondisi masyarakat.
Kedua : Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para
wanita. Ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam
memperbaiki masyarakat[15] .
Bangga Sebagai Wanita Muslimah
Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari hukum-hukum syariat yang
menggambarkan penghargaan dan pemuliaan Islam terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itulah, seorang wanita Muslimah yang telah mendapatkan
anugerah hidayah dari Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan
agama ini, hendaklah dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum
syariat-Nya. Karena dengan itulah dia akan meraih kemuliaan yang hakiki
di dunia dan akhirat. Semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada
semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka (orang-orang yang beriman) bergembira, kurnia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang
dikumpulkan (oleh manusia). [Yûnus/10:58]
“Karunia Allah” dalam
ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan
kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan
“al-Qur’an”.[16]
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik
Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui. [al-Munâfiqûn/63:8]
Dalam
ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab z berkata: “Dulunya kita adalah
kaum yang paling hina, kemudian Allah Azza wa Jalla memuliakan kita
dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain
agama Islam ini, pasti Allah Azza wa Jalla akan menjadikan kita hina dan
rendah”.[17]
Penutup
Dalam al-Qur’ân Allah Azza wa Jalla
yang Maha Adil dan Bijaksana telah menjelaskan sebab untuk meraih
kemuliaan yang hakiki di dunia dan akhirat bagi laki-laki maupun
perempuan, yang sesuai dengan kondisi dan kodrat masing-masing.
Renungkanlah ayat yang mulia berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka. Maka Wanita yang saleh adalah wanita yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (memberi taufik kepadanya)” [an-Nisâ’/4:34]
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan
sebagai nasehat bagi para wanita Muslimah untuk kembali kepada kemuliaan
mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah Azza wa Jalla
dalam agama Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, 25 Syawwal 1430 H
Sumber :
http://almanhaj.or.id/content/3432/slash/0/saudariku-inilah-kemuliaanmu/
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 ]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 174
[2]. Lihat kitab Al-Mar’ah, Baina Takrîmil Islam wa Da’âwat Tahrîr hlm. 6
[3]. Misalnya dalam HSR al-Bukhâri no. 3153 dan Muslim no. 1468
[4]. Dalam HSR Muslim no. 1218
[5]. Kitab At-Tanbîhât ‘alâ Ahkâmin Takhtashshu bil Mu’minât hlm. 5
[6]. Lihat keterangan Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullâh dalam kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 17
[7]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 18-20
[8]. Lihat kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 53
[9]. Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 489
[10]. Kitab Al-Hijâbu wa Fadhâ-iluhu hlm. 3
[11]. Lihat kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 53
[12]. HR Ibnu Khuzaimah no. 1685, Ibnu Hibban no. 5599 dan at-Thabrâni
dalam Al-Mu’jamul Ausath no. 2890, dinyatakan shahîh oleh Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibbân, al-Mundziri dan Syaikh al-Albâni dalam
Silsilatul Ahâditsish Shahîhah no. 2688
[13]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 18-20
[14]. HSR al-Bukhâri no. 2416 dan Muslim no. 1829
[15]. Kitab Daurul Mar-ati Fî Ishlâhil Mujtamâ` hlm. 3-4
[16]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/227
[17]. Riwayat al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 1/130, dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.